Seorang Ayah Juga Perlu Tahu Pneumonia Pada Anak



Ibu Asri        : "Ibu-ibu ada yang pernah alamin anaknya radang paru-paru atau ISPA?"

Ibu Bella      : "Apa ibu-ibu di sini ada yang pernah alami anaknya terkena Pneumonia?"

Ibu Charlie : "Bu, vaksin PCV itu perlu ga sih?itu bukan vaksin yang disubsidi pemerintah ya?"

Ibu Dina     : "Anakku belum divaksin PCV karena lumayan kan harganya, di puskesmas juga                                     ga ada"

Ibu Esty     :"Mau sih vaksin PCV tapi harganya sekitar 700 ribu sampai 800 ribu kan?"

Ibu Fina    : "Vaksin PCV itu untuk apa, Bu?"

***

Prolog di atas merupakan percakapan para ibu di suatu komunitas tempat tinggal saya, Kabupaten Bogor, dalam grup pesan daring. Nama-nama di atas bukan nama sebenarnya. Saya tertegun ketika membaca isi percakapan grup tersebut. "Apa iya zaman sekarang, ibu-ibu millenial masih ada yang belum tahu tentang vaksin PCV, anaknya belum divaksin PCV dan masih mempertimbangkan atau memilih vakisn untuk anaknya?" ujar saya dalam hati. Jadi, siapakah yang harus disalahkan atau harus bagaimana bila anaknya sudah terlanjur terkena Pneumonia?

Bukan saatnya untuk menyudutkan mereka. Mengamati lebih cermat lagi percakapan para ibu, mereka bukan tidak ingin anaknya sehat dan bukan tidak ingin anaknya mendapatkan vaksin lengkap, akan tetapi mereka masih memiliki keterbatasan ekonomi. Mungkin mereka berpikir, jika mereka memberikan vaksin seharga Rp.800.000 kepada anaknya maka dapur mereka tidak akan ngebul? atau jika mereka minta kepada sang suami, mereka khawatir akan dinilai sebagai istri yang tidak pandai mengatur keuangan. Seandainya para suami tahu dan paham mengenai kesehatan anak dan seandainya para suami dapat turun tangan langsung mendukung sang istri. Peran seorang suami, peran seorang ayah begitu besar tidak hanya seputar memberi materi.

Mungkin para suami atau ayah rela merogok kantong mereka demi sebungkus rokok per harinya, rela menyisihkan gaji mereka demi menghisap asap rokok. Sedangkan apa yang mereka hisap dan mereka nikmati juga dihisap oleh buah hati mereka. Dengan kebiasaan mereka tersebut, mereka menjadi tidak peka atau masa bodoh terhadap lingkungan sekitar. Apakah mereka tahu bahaya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atau Pneumonia dapat mengincar buah hati mereka? lalu, siapakah yang akan dibuat pusing jika anak mereka terkena pneumonia?

Apakah mereka tahu bahwa ISPA atau pneumonia menempati urutan kedua terbesar setelah diare pada kategori penyakit yang paling banyak di derita oleh anak-anak di Kabupaten Bogor?

Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2017, Kabupaten Bogor masuk dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dengan luas 2.663,81km2 dan dengan jumlah penduduk 5.715.009. Jika ditilik datanya,  data 2015 hingga 2017, diare menduduki peringkat pertama lalu disusul pneumonia pada peringkat kedua menjadi penyakit terbesar yang dialami oleh pasien anak-anak baik yang dalam perawatan di puskesmas maupun di rumah sakit.




Ketika membaca data-data tersebut, berbagai upaya pemerintah telah dilakukan. Dari 101 puskesmas di Kabupaten Bogor, baru 50% puskesmas yang terlatih.  Penyuluhan kesehatan dan imunisasi antar posyandu dan puskesmas. Tetapi masih saja terdapat orang tua yang tidak tahu mengenai vaksin. tidak tahu pentingnya vaksin, tidak tahu bagaimana mendapatkan vaksin dan sebagainya. Tahun 2017 dilaporkan terdapat 14.087 penderita pneumonia.

Gambaran pendidikan pada Kabupaten Bogor tahun 2017,  tingkat pendidikan tinggi seperti sarjana masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan dasar. Sedangkan kualitas pendidikan dapat mempengaruhi kualitas ekonomi dan derajat kesehatan seseorang. (dinkes.bogorkab.go.id, 2018),

Ketika membaca data tersebut, apakah benar ada korelasinya?
Jika benar, berarti tidak hanya ibu saja yang perlu pendidikan atau ilmu mengenai kesehatan anak khususnya pneumonia, suami atau ayah jika memiliki ilmu yang sangat banyak atau cukup maka kualitas kesehatan anak pun akan baik.






Author

Fitri N Ardiantika Fitri N Ardiantika karena menjadi seorang Ibu harus meredam ego, emosi dan nafsu sendiri untuk kualitas hidup terbaik sang anak.

Post a Comment